Syahdan, dalam pertemuan darurat negara-negara Arab di Riyadh, Arab Saudi, pada November 2023 lalu, sejumlah negara seperti Aljazair dan Lebanon mengusulkan embargo minyak untuk menekan Israel dan Amerika Serikat agar menghentikan perang di Jalur Gaza.
Usulan tersebut berkaca kepada embargo minyak antara tahun 1973 dan 1974 yang dicetuskan sebagai respons terhadap Perang Yom Kippur. Akibatnya, harga minyak dunia melambung sebanyak 300 persen dan memicu inflasi global. Namun demikian, aksi tersebut berhasil memaksakan intervensi AS yang menekan Mesir dan Israel agar merundingkan damai.
Tapi usulan embargo minyak ditolak Arab Saudi dan negara lain. “Mereka berusaha menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan,” kata Khaled Elgindy dari lembaga wadah pemikir, Middle East Institute, di Washington D.C.
“Di satu sisi, mereka ingin mendemonstrasikan kepada warga di dalam negeri betapa pemerintah sangat marah terhadap Israel dan AS, serta bahwa mereka tetap mendukung penuh Palestina. Tapi di sisi lain, mereka tidak ingin merusak hubungan diplomatik, terutama dengan AS, yang berpotensi meningkatkan eskalasi di kawasan dan menggoyang kekuasaan sendiri.”
Embargo minyak akan membawa negara-negara Arab “menuju konfrontasi langsung melawan AS dan negara-negara Barat lain,” pungkasnya.
Terdesak untuk bertindak
Meski demikian, tekanan kian menggunung kepada pemerintahan di Jazirah Arab untuk segera bertindak. Menurut Hamas, angka kematian di Jalur Gaza sudah melebihi 25.000 orang. PBB pun telah mewanti-wanti terhadap bencana kelaparan jika Israel tidak membuka blokade terhadap masuknya bantuan kemanusiaan.
Menurut Elgindy, opsi paling realistis bagi negara-negara Arab adalah mengusir duta besar israel atau memaksakan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza tanpa izin Israel, serta mencegah pengiriman senjata oleh AS melalui pangkalan militernya di negara-negara Arab.
“Sangat mencolok bahwa tidak satu pun negara Arab secara formal bergabung dengan Afrika Selatan dalam gugatan di Mahkamah Keadilan Internasional,” kata dia. Menurutnya, langkah tersebut “akan membuat gusar AS dan mempersulit situasi bagi negara-negara Arab yang sudah menormalisasi hubungan dengan Israel,” ujarnya.
Analis: Tidak ada persatuan Arab
Abdel Ghafar, direktur Hubungan Luar Negeri dan Keamanan di Dewan Timur Tengah untuk Isu Global di Qatar, menepis kemungkinan perang di Gaza akan menyatukan negara-negara Arab.
“Setiap negara punya kalkulasi hubungan luar negerinya sendiri. Bahkan negara Teluk terbelah dalam sejumlah isu ini,” kata dia. “Hal ini selalu menjadi kelemahan bagi kebijakan luar negeri yang terkoordinasi dari negara-negara Arab.”
Dia meyakini, perang belum akan memaksa negara Arab memutus relasi dengan Israel. Karena “perjanjian normalisasi diplomasi terkait erat dengan kolaborasi keamanan dan insentif ekonomi dari AS,” imbuhnya.
Saat ini, negara Arab menjanjikan damai melalui normalisasi hubungan antara Israel dan Saudi sebagai ganti pembentukan negara Palestina berdaulat dan solusi permanen konflik di Timur Tengah.
Perdamaian abadi di kawasan hanya bisa dicapai “melalui sebuah proses yang kredibel dan tidak bisa dibatalkan menuju sebuah negara Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Faisal bin Farhan, kepada stasiun televisi AS, CNN, Minggu (28/1), “Kami sangat siap, tidak cuma Arab Saudi, tapi negara Arab yang lain, untuk memulai perundingannya.”
Jika Israel tidak bersedia, maka tawaran tersebut akan dicabut kembali, kata bin Farhan. Menurut Dina Esfandiary, penasehat utama di lembaga wadah pemikir International Crisis Group, negara Arab “tahu Israel mungkin tidak akan menyepakati pembentukan negara Palestina tanpa tekanan yang besar terhadap mereka.”